Puntikayu, dari Pisang menjadi Pepaya

Setelah tulisan tentang asal nama Hutan Wisata Punti Kayu dibagikan kemarin, muncul tanggapan yang mengatakan bahwa dalam bahasa suku Komering kata ‘Puntikayu’ berarti pepaya. Itu benar walau kata itu mengandung unsur pisang di dalamnya.

Tulisan pendek ini adalah usaha kami untuk memahami cara berfikir leluhur suku Komering di masa lalu sehingga mereka mampu membentuk kata ‘puntikayu’ untuk menyebut buah pepaya.

I.H. Burkill yang mencatat ragam hasil bumi di semenanjung Melayu pada dekade 1930-an mencatat bahwa di Bali buah pepaya disebut dengan nama ‘gedang castela’ yang dialih-bahasakan menjadi ‘spanish banana’, alias ‘pisang dari Spanyol’.

Penyebutan pepaya sebagai ‘gedang castela’ alias ‘pisang dari spanyol’ terjadi karena pepaya bukan buah-buahan asli Bali, dan juga bukan asli kepulauan Asia Tenggara. Pepaya adalah buah asing yang mereka tidak punya namanya sehingga harus diberi nama yang sesuai sebagai pembeda dari buah yang sudah ada.

Buah pepaya berasal dari benua Amerika bagian tengah, antara Meksiko atau Guatemala. Dari sana buah pepaya dibawa menyeberangi Samudra Pasifik menuju ke kepulauan Asia Tenggara oleh orang Spanyol. Pada masa sekitar pertengahan abad ke-16, tanah asal para penjelajah dan penjajah Spanyol ini berada dibawah kekuasaan kerajaan Castilla.

Saat buah pepaya memasuki Bali, warga setempat melihat buah asing tak dikenal ini dibawa oleh orang Castilla. Buah itu bentuknya panjang dan memiliki semacam pentil di ujungnya, mirip seperti pisang, hanya saja lebih gemuk. Karena ‘pisang’ dalam bahasa setempat adalah ‘gedang’ maka buah baru ini disebut ‘gedang’ dan untuk membadakannya dari gedang yang sudah ada maka penanda khusus diberikan.

Penanda yang dipilih adalah identitas orang-orang yang membawa gedang baru ini, yaitu orang dari Castela, alias kerajaan Kastila di Spanyol sekarang. Maka terbentuklah nama untuk buah asing yang baru ini, ‘gedang castela’, yaitu ‘buah pisang yang dibawa oleh orang Castela (spanyol)’.

Proses yang hampir mirip mungkin terjadi pula pada masyarakat suku Komering ketika mereka melihat pepaya untuk pertama kali. Mereka tidak memiliki kata untuk menyebut buah ini dan karenanya harus membentuk kata baru untuk menamainya.

Kata ‘Punti/pisang’ dipilih oleh orang Komering karena bentuknya yang paling mendekati dengan bentuk buah asing ini. Buah lokal lain seperti belimbing, durian, mangga, dan rambutan terlalu jauh berbeda. Tetapi bila hanya satu kata ‘punti’ saja maka penyebutan atas buah baru ini bisa tertukar dengan buah punti yang asli. Mereka butuh kata lain sebagai penegas identitas buah ini.

Mungkin awalnya orang Komering mengira bahwa punti yang baru ini juga tumbuh dari pohon yang sama seperti punti-punti lainnya, tetapi ketika mereka melihat sendiri pohonnya ternyata berbeda. Rupa dan warna pohon punti yang baru ini lebih mirip pohon kayu daripada pohon punti/pisang yang hijau. Maka dengan demikian terbentuklah nama untuk buah baru ini yaitu buah ‘puntikayu’, yang berarti ‘buah punti (pisang) yang berasal dari pohon kayu’.

Seiring berlalunya waktu, kata ‘punti’ dan ‘puntikayu’ diwariskan dari generasi ke generasi dan akhirnya dianggap sebagai dua kata yang tidak berhubungan. Ini terjadi karena generasi yang datang terkemudian menerima kedua kata itu dalam bentuk jadi dan menganggap keduanya adalah dua hal yang berbeda.

Demikianlah usaha kami untuk memahami cara terbentuknya kata ‘puntikayu’ dalam bahasa Komering. Diperlukan usaha yang lebih ilmiah oleh Balai Bahasa, BRIN, atau Jurusan Sejarah di kampus-kampus lokal Palembang untuk meneliti perkara ini. Tulisan pendek ini hanyalah pemantik saja.

Poentikajoe, Antara Pisang dan Pinus.

Puntikayu

Punti Kayu adalah hutan pinus yang berada di Kota Palembang. Sejak 1985 Punti Kayu diresmikan sebagai hutan wisata. Namun nama Puntikayu sendiri sudah lama ada dan tidak berkaitan dengan hutan dan pohon pinus.

Nama ‘Punti Kayu’ pertama kali muncul dalam peta buatan Belanda keluaran tahun 1916. Dalam peta itu nama ‘Punti Kayu’ ditulis sebagai ‘S. Poentikajoe’. Huruf ‘S’ pada nama itu mewakili kata ‘Sungai’ sehingga ‘S Poentikajoe’ berarti ‘Sungai Poentikajoe’.

Betul, Poentikajoe pada awalnya adalah nama sebuah sungai. Sungai Poentikajoe memiliki hulu di kaki perbukitan yang berada di sebelah utaranya dan mengalir ke arah tenggara lalu bermuara ke Sungai Bayas.

Sungai Poentikajoe. (Sumber: Leiden University)

Pada tepi sebelah selatan Sungai Poentikajoe ini berdiri Kantor Urusan Pekerjaan Umum Pemerintahan Belanda, sedangkan di sisi sebelah utaranya terdapat hutan dan perbukitan.

Nama Sungai Poentikajoe lalu dipakai oleh orang-orang di masa itu untuk menyebut kawasan luas yang ada di sisi utara sungai kecil itu. Jika dibandingkan dengan peta modern maka kawasan Poentikajoe di masa lalu membentang dari sekitar Jalan Irigasi di ujung Pakjo sampai ke daerah Sukarame.

Nama ‘Poentikajoe’ sendiri memiliki arti. Kata ‘Punti’ memiliki arti ‘Pisang’ dan kata ‘kayu’ memiliki arti ‘pohon’ atau ‘batang’, sehingga ‘Poentikajoe’ secara bebas bisa diartikan sebagai ‘Pisangpohon’ atau ‘Pisangbatang’ atau semata-mata ‘Pisangkayu’. Kami berpendapat bahwa ‘Poentikajoe’ adalah nama sejenis pisang-pisangan yang tumbuh di Palembang dan sekitarnya. Namun jenis pisang ini sekarang mungkin telah punah.

Sebagai pembanding, sekitar tahun 1980-an masih mudah untuk mencari dan memakan Pisang Batu namun sekarang jenis pisang ini semakin jarang ditemukan.

Pada masa sekarang, pisang-pisangan dari jenis yang disebut Pisang Kayu dapat ditemukan di Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Menurut warga NTB, Pisang Kayu adalah jenis pisang asli pulau mereka.

Sumber: ntb.litbang.pertanian.go.id

Kata ‘Punti’ sendiri adalah kata yang memiliki sebaran luas di dunia penutur bahasa Melayu, tersebar dari Sumatera sampai ke Sulawesi. Variasinya yang berupa ‘Ponti’ masih bisa ditemukan dalam bahasa Suku Komering yang tinggal di sebelah selatan Kota Palembang.

Seiring perkembangan jaman, Sungai Poentikajoe (ke depannya akan ditulis sebagai ‘Punti Kayu’) menjadi korban dari ganasnya pembangunan yang tak terkendali. Sebagian ruas sungai ini telah hilang dan sisanya menjadi parit yang terhimpit perkantoran dan perumahan.

Apa yang masih tersisa dari sungai itu adalah namanya, yang masih dikenal sampai saat ini oleh penduduk Palembang, walau sudah bergeser jauh. Bermula dari nama sungai, sekarang Punti Kayu menjadi nama kawasan hutan yang berada di perbukitan di sebelah utaranya. berawal sebagai nama jenis pisang sekarang orang membayangkan rimbunnya pepohonan pinus. Dalam rimbunnya pepohonan itu dahulu terdapat Sungai Rawangsalak yang bermuara ke rawa-rawa luas yang terletak di antara Jalan Kolonel Sulaiman Amin dan Jalan Letnan Murod.

Nasib Punti Kayu masih terhitung baik jika dibandingkan puluhan sungai lain di Palembang yang raib, baik fisiknya maupun namanya. Hanya satu yang tidak raib, yaitu airnya.

Rawa dan sungai adalah tempat air berkumpul dan mengalir. Air tidak akan perduli jika rawa dan sungai menghilang, dia akan tetap datang, berkumpul, dan mengalir. Ketika rawa dan sungai berubah menjadi rumah, kantor, dan jalan maka di rumah, kantor, dan jalan itulah kini air berkumpul dan mengalir.

Konon di masa lalu Palembang memiliki 200-an anak sungai dan kawasan rawa-rawa yang luas, tetapi sekarang sungai itu tersisa kurang dari separuhnya, itupun dalam kondisi yang menyedihkan. sedangkan rawa-rawa telah berubah menjadi berbagai kawasan permukiman. Tidak lagi menjadi rumah bagi air, rawa-rawa sekarang menjadi rumah bagi manusia, seperti di rawa sari, tanjung rawa, rawa jaya, dan rawa bendung.

Semoga rawa-rawa dan sungai-sungai yang tersisa di Palembang bisa segera dipulihkan, bukan untuk mengenang masa lalu tapi untuk mengurangi penderitaan manusia Palembang masa kini yang punya masalah dengan air.

6 Koreksi Atas Buku Tentang Palembang Terbitan ANRI

Beberapa waktu yang lalu kami mendapatkan sebuah buku berjudu ‘Citra Kota Palembang Dalam Arsip’ yang diterbitkan oleh ANRI. Hanya saja ada beberapa bagian yang kurang tepat dan perlu dibuat lebih akurat.

Sampul buku Citra Kota Palembang Dalam Arsip (CKPDA).

‘Citra Kota Palembang Dalam Arsip’ (selanjutnya disebut sebagai CKPDA) adalah sebuah buku yang sangat bagus. Buku ini sangat bermanfaat bagi penggemar sejarah Palembang maupun bagi mereka yang hendak melakukan penelitian tentang Palembang. Namun ada beberapa informasi dalam buku ini yang perlu diperbaiki.

Enam masukan berikut ini kami tulis berdasarkan kegemaran kami atas foto lama Palembang. Semoga hal kecil ini bisa membuat buku ‘Citra Kota Palembang Dalam Arsip’ menjadi lebih baik dan mendekati sempurna.

Keliru Tahun Foto Udara

Pada halaman 32 buku CKPDA terdapat sebuah foto udara yang menampilkan kediaman Residen Palembang dan kawasan di sekitarnya. Bangunan itu sekarang dikenal sebagai Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Foto ini diberi keterangan sebagai ‘Foto udara Kota Palembang, 1948.’

Potongan gambar dari buku CKPDA yang menampilkan Sungai Tengkuruk yang sudah tidak ada saat perang 5 hari 5 malam meletus di tahun 1947.

Foto itu benar adalah Kota Palembang, tetapi bukan dari tahun 1948. Penanda utamanya adalah keberadaan Sungai Tengkuruk.

Pada saat perang 5 hari 5 malam berkecamuk di Palembang tahun 1947, Sungai Tengkuruk telah diuruk. Pengurukan ini terjadi kemungkian besar sebelum tahun 1925 karena pada tahun itu terdapat sebuah peta lama Kota Palembang yang mencantumkan semua sungai di Palembang yang bermuara ke Sungai Musi seperti Sungai Sekanak, Sungai Rendang, dan Sungak Tawar, hanya Sungai Tengkuruk saja yang tidak ada.

Dengan demikian bila ada foto Kota Palembang yang menampilkan Sungai Tengkuruk di dalamnya maka sudah pasti foto itu berasal dari masa sebelum tahun 1925, sehingga keterangan pada foto tersebut bisa diubah menjadi ‘Foto udara Kota Palembang, sebelum tahun 1925.’

Keliru Lapangan Udara

Foto lain di halaman 74 menunjukkan orang-orang berpakaian resmi di sebuah lapangan berlapis aspal dengan latar belakang sebuah bukit. Terdapat keterangan tertulis berupa ‘Wakil Presiden Mohammad Hatta meninggalkan bandar udara Talang Betutu, Palembang, Sumatera Selatan, 14 Juli 1954.’

Potongan gambar dari buku CKPDA yang menampilkan jajaran bukit di sebuah bandar udara, sesuatu yang tidak dimiliki oleh Talang Betutu.

Hal yang menarik dengan gambar ini adalah adanya bukit yang memanjang di latar foto tersebut. Sependek pengetahuan kami, tidak ada bukit di sekitar Bandar Udara Talang Betutu yang ukurannya cukup besar sehingga bisa mendominasi latar belakang sebuah foto.

Kemungkinan foto tersebut diambil di bandar udara lain yang pernah dikunjungi oleh Mohammad Hatta selama tahun 1954. Dugaan kami untuk lokasi asli foto tersebut adalah bandar udara di Kota Padang, Sumatera Barat.

Keliru Lokasi Kelenteng

Sebuah foto kelenteng yang diberi keterangan ‘Klenteng orang Cina Palembang, Sumatera Selatan, [1930].’ terdapat pada halaman ke-92 buku CKPDA.

Kelenteng dalam buku CKPDA ini kemungkinan besar tidak berada di Palembang.

Sepintas kelenteng ini memang mirip dengan kelenteng yang ada di Palembang, tetapi jika dilihat lebih teliti ternyata bukanlah kelenteng yang dimaksud.

Universitas Leiden memiliki foto kelenteng Palembang dalam koleksi mereka yang bisa diakses secara daring. Bangunan dalam foto koleksi Leiden itu bisa dipastikan berada di Palembang karena bentuknya persis sama dengan bangunan yang sekarang bernama Kelenteng Kwan Im atau yang dikenal juga sebagai Kelenteng Chandra Nadi.

Kelenteng dalam foto koleksi Leiden (atas) dan Kelenteng Chandra Nadi saat ini (bawah).

Kesamaan itu terlihat diantaranya pada bentuk atap, jumlah atap, dan dua buah bangunan kecil yang ada di kedua sisi kelenteng.

Karena sudah dipastikan keasliannya maka foto koleksi Leiden itu bisa dijadikan bahan pembanding untuk foto-foto lain yang dianggap berasal dari Palembang, termasuk foto kelenteng yang ada di halaman 92 buku CKPDA.

Setelah membandingkan foto dalam buku CKPDA dengan kelenteng Chandra Nadi di Palembang, maka terang sudah kelenteng dalam foto itu bukan lah kelenteng di Palembang. Bentuk kelenteng dalam Foto itu juga tidak sama dengan bentuk kelenteng lain yang ada di Palembang pada masa 1930-an.

Uniknya, foto kelenteng Chandra Nadi atau yang dikenal juga dengan nama kelenteng Kwan Im muncul dalam buku CKPDA pada halaman 111, walaupun terdapat kesalahan tulis dari ‘Kwan Im’ menjadi ‘Kwan Inn’.

Salah tulis nama kelenteng pada bagian keterangan foto dalam buku CKPDA.

Kemungkinannya adalah kelenteng dalam foto di halaman 92 buku CKPDA itu berada di Kota Medan.

Kuto Besak Dikira Gereja

Pada halaman 93 buku CKPDA terdapat sebuah kalimat menarik yang menjadi keterangan sebuah foto. Kalimat itu adalah ‘Salah satu Gereja di Palembang, Sumatera Selatan, [1930].’ Dan diletakkan di bawah foto sebuah pintu gerbang pada sebuah bangunan besar berbentuk kotak.

Gerbang Utama Kuto Besak yang dikira Gereja Kuto Besak adalah benteng yang dibangun oleh Kesultanan Palembang.

Sesungguhnya bangunan yang dikira gereja itu adalah bagian penting dari Kuto Besak, sebuah bangunan monumental yang didirikan oleh Kesultanan Palembang.

Gerbang utama Kuto Besak bentuknya mirip seperti Lawang Buratan, yaitu pintu gerbang sebelah barat Kuto Besak, hanya saja gerbang utama ini ukurannya jauh lebih besar. Gerbang ini dilindungi sebuah bangunan persegi empat dengan atap layaknya rumah yang kegunaan mungkin sebagai tempat pasukan Sultan Palembang berjaga-jaga.

Pada awal abad keduapuluh, gerbang utama Kuto Besak ini dihancurkan oleh Belanda. Mereka menjadikan Kuto Besak sebagai markas militer dan membutuhkan pintu masuk yang lebih lebar agar bisa dilalui oleh kendaraan militer mereka. Belanda lalu membangun gerbang yang lebih sederhana dan lebar yang masih bisa dilihat bentuknya sampai hari ini. Gerbang Kuto Besak buatan Belanda ini bisa dilihat pada halaman 139 buku CKPDA.

Dengan penghancuran itu, maka satu-satunya gerbang asli Kuto Besak yang tersisa adalah Lawang Buratan yang berada di sisi sebelah barat Kuto Besak.

Keliru Tahun Pendirian Masjid Agung dan dan Tokoh Pendirinya

Pada halaman 96 buku CKPDA kami membaca keterangan ‘Masjid Agung di Kota Palembang, yang dibangun abad ke-15 oleh Sultan Machmud Badaruddin II, 25 Agustus 1950.’ Keterangan yang sama namun dengan tanggal berbeda muncul lagi di halaman 98, 99, 106, dan 108.

Potongan gambar dari buku CKPDA yang menunjukkan keterangan yang keliru mengenai Masjid Agung.

Masjid dalam foto tersebut adalah Masjid Agung Palembang, sayangnya keterangan yang diberikan sangatlah keliru. Keliru karena salah menyebutkan waktu pembangunan dan salah menyebutkan nama tokoh pembangun Masjid.

Masjid Agung Palembang dibangun mulai tahun 1738 dan diresmikan penggunaannya pada tahun 1748. Masjid ini dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang berkuasa di Palembang antara tahun 1724 sampai 1757.

Memperhatikan informasi di atas maka keterangan yang lebih sesuai untuk foto Masjid Agung yang ada dalam buku CKPDA adalah ‘Masjid Agung di Kota Palembang, yang dibangun abad ke-18 oleh Sultan Machmud Badaruddin I.’

Keliru Menentukan Lokasi Kawasan Ekplorasi Minyak

Pada halaman 190 buku CKPDA terdapat foto yang diberi keterangan ‘Kampung eksplorasi minyak di Plaju, Palembang, Sumatera Selatan, [1930]’. Sayangnya foto tersebut bukan di Plaju, bahkan bukan di Palembang.

Foto tersebut menggambarkan sebuah lansekap hutan lebat yang telah dibuka untuk keperluan pertambangan minyak. Terdapat satu bangunan panjang beratap logam di bagian depan dan beberapa bangunan yang serupa di bagian belakangnya. Terdapat pula sebuah kilang kecil dan beberapa menara pengeboran di sekitar bangunan-bangunan tersebut. Dinilai dari letak bangunan dan aliran jalannya, dapat diduga bahwa foto itu diambil di lokasi yang berbukit-bukit dan dikelilingi hutan.

Hal pertama yang harus diketahui tentang Plaju adalah bahwa tempat itu merupakan rawa-rawa yang ditimbun untuk membangun kilang minyak dan perumahan pekerja minyak. Karena merupakan rawa-rawa, bentuk rupa bumi alami daerah Plaju adalah sebuah lahan datar yang ditumbuhi hutan dan semak dataran rendah.

Hal kedua yang perlu diketahui tentang Plaju adalah bahwa sejak pertama kali dikembangkan oleh Belanda Plaju hanyalah berfungsi sebagai tempat penyimpanan dan pengolahan minyak, bukan daerah eksplorasi yang memiliki menara bor untuk mencari minyak.

Ini adalah foto kilang minyak Plaju pada tahun 1933, bandingkan dengan foto sebelumnya yang dikatakan adalah Plaju di tahun 1930. (KITLV)

Dengan informasi di atas, maka foto pada halaman 190 itu bukanlah foto tempat bernama Plaju. Plaju adalah sebuah daerah datar di tepi Sungai Musi yang dipenuhi oleh kilang minyak dengan perumahan pegawai perusahaan minyak di sekitarnya.

Kampung eksplorasi minyak yang dimaksud oleh foto di halaman 190 buku CKPDA itu kemungkinan besar adalah foto sebuah titik pengeboran minyak di Muara Enim yang sekarang dikenal dengan nama ‘Kampung Minyak’.

Titik pengeboran minyak di Kabupaten Muara Enim yang dikenal dengan nama ‘Kampung Minyak’. (Google Maps)

Itulah enam informasi yang bisa kami sumbangkan untuk perbaikan isi buku Citra Kota Palembang Dalam Arsip terbitan ANRI. Kami mendorong teman-teman lain dengan keahliannya masing-masing untuk ikut berkontribusi kepada perbaikan isi buku penting ini. Semoga buku yang kaya informasi ini akan menjadi lebih baik dalam terbitan selanjutnya.

Begini Caranya ke Rumah Heritage Ong Boen Tjiet

Rumah Heritage Ong Boen Tjiet adalah rumah kayu perpaduan gaya arsitektur Melayu dengan Cina yang diduga telah berusia lebih dari 200 tahun. Dari seluruh rumah sejenis yang masih ada di Palembang, inilah rumah terbaik yang tersisa saat ini.

Berikut ini kami bagikan cara untuk berkunjung ke rumah heritage yang cantik ini melalui jalan darat dan air yang dapat dipilih oleh para turis nusantara dan oleh penduduk Palembang sendiri.

Rumah Heritage Ong Boen Tjiet memadukan gaya arsitektur Melayu dan Cina. Interiornya kaya akan pahatan relief bernuansa keemasan. (istimewa)

Dari Luar Palembang

Pesawat Udara

Jika menuju ke Palembang dengan menaiki pesawat udara maka perjalanan menuju ke Rumah Heritage Ong Boen Tjiet akan menjadi amat mudah. Anda akan mendarat di Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. Dari sana anda tidak perlu keluar dari lingkungan bandara karena moda transportasi selanjutnya menuju Rumah Heritage Ong Boen Tjiet bisa dijangkau dari dalam lingkungan bandara sendiri.

LRT Palembang memiliki stasiun paling utara yang bernama Stasiun Bandara dan sesuai namanya stasiun ini berada di dalam lingkungan bandara, tepatnya di lapangan parkir yang berada di depan Gedung utama bandara.

Ketika tiba di Palembang dan keluar dari pintu kedatangan anda akan langsung bertemu lapangan parkir yang di bagian tengahnya terdapat bangunan besar bewarna perak, bangunan ini adalah Stasiun LRT Bandara.

Keluar dari pintu kedatangan anda cukup berbelok ke kanan dan dalam kurang lebih 30 meter anda akan melihat sebuah eskalator. Melalui eskalator itu anda akan naik ke lantai dua lalu berbelok ke arah kiri dan memasuki sebuah koridor panjang yang melintang di atas lapangan parkir bandara. Ikuti saja koridor ini sejauh kurang lebih 50 meter sampai bertemu eskalator selanjutnya yang berada di sebelah kiri. Eskalator kedua ini akan membawa anda langsung ke ruang Stasiun LRT Bandara dimana konter tiket dan ruang tunggu berada.

Stasiun LRT Bandara berada di dalam lingkungan bandara. pada gambar di atas berada di sisi sebelah atas gambar. (Google Earth)

Silakan membeli tiket seharga Rp 5.000,- dengan tujuan Stasiun Ampera.

Stasiun Ampera bertetangga dengan Jembatan Ampera, yaitu pada sisi sebelah utara jembatan. Turunlah di stasiun ini dan keluar ke jalan yang berada di bawahnya. Anda akan melanjutkan dengan berjalan kaki melalui bagian bawah Jalur LRT menuju ke arah dermaga yang berada di tepian Sungai Musi. Dermaga-dermaga ini tersebar dari bagian bawah Jembatan Ampera sampai ke halaman Benteng Kuto Besak.

Jangan terburu-buru, nikmati saja sesi jalan kakinya karena anda sedang berada di bagian kota tua Palembang yang dipenuhi bangunan yang usianya lebih tua daripada Indonesia. Jika beruntung, anda akan bertemu tukang pempek keliling yang membawa pempeknya dalam wadah rotan atau aluminium. Jika berjalan kaki membuat haus, maka terdapat pula penjaja air minum dan mini market pada jalur yang anda lalui.

Dermaga yang direkomendasikan adalah dermaga yang berada di depan Patung Ikan Belida. Patung ini ada di halaman Benteng Kuto Besak dan menghadap ke Sungai Musi. Silakan pilih perahu yang akan dinaiki. Biaya penyeberangan dari Benteng Kuto Besak menuju ke Rumah Heritage Ong Boen Tjiet sekitar Rp 10.000,- per orang. Jika anggota rombongan cukup banyak, perahu bisa disewa seharian dengan harga sekitar Rp 300.000,-. Kapasitas perahu berragam antara 12 sampai 20 tempat duduk.

Durasi waktu perjalanan air dari Benteng Kuto Besak ke Rumah Heritage Ong Boen Tjiet berkisar antara 7 sampai 10 menit. Selama perjalanan anda bisa berfoto di atas perahu dengan latar Jembatan Ampera dan bisa pula melihat perahu-perahu pencari barang bekas di dasar Sungai Musi yang kadang kala menemukan artefak dari masa Kadatuan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang.

Berfoto di ujung perahu dengan latar Jembatan Ampera adalah atraksi yang digemari oleh turis dan warga Palembang sendiri.

Mendekati Rumah Heritage Ong Boen Tjiet anda akan disambut oleh dermaga besi yang cukup besar tepat di halaman rumahnya. Sekarang anda telah tiba, silakan nikmati suasana Palembang yang tenang di teras rumah heritage di tepian Musi.

Kereta Api

Jika anda berangkat ke Palembang mempergunakan kereta api maka anda telah dekat sekali dengan lokasi dimana Rumah Heritage Ong Boen Tjiet berada. Tiba di stasiun kereta api Kertapati, anda cukup berjalan keluar dari stasiun sampai ke jalan besar yang menuju ke Jembatan Ogan. Sebelum itu pesanlah dahulu ojek online sehingga anda tidak perlu menunggu terlalu lama.

Saat memesan ojek online, lokasi yang hendak anda tuju adalah ‘Rumah Saudagar Ong Boen Tjit’ yang telah didaftarkan di Google Maps. Ojek online roda dua akan membawa anda langsung ke tujuan tetapi ojek online roda empat akan mengantar anda sampai ke ujung Lorong Jayalaksana. Dari sana anda harus berjalan kaki sekitar 130 meter melalui rumah-rumah penduduk yang ramah untuk sampai ke Rumah Heritage Ong Boen Tjiet.

Selama jalan kaki anda akan melihat kerajinan nipah di beberapa rumah penduduk. Mereka membuat nipah menjadi berbagai peralatan mulai dari piring makan, wadah pensil, pot bunga, sampai wadah pakaian kotor. Para perajin nipah ini biasanya menerima pesanan dalam jumlah besar tetapi jika anda berminat mereka bisa menjual secara satuan.

Jika anda termasuk yang gemar adrenaline rush, maka setelah mencoba kereta api anda bisa melanjutkan perjalanan dengan menaiki perahu ketek.

Berjalan keluar dari Stasiun Kertapati, anda harus berbelok ke kiri dan berjalan kaki menuju ke tepi Sungai Ogan kurang lebih sejauh 50 meter sampai bertemu dermaga. Dari sana anda bisa menumpang ketek ke dermaga Rumah Heritage Ong Boen Tjiet dengan harga kurang lebih Rp 10.000,- per orang atau bisa menyewa perahu ketek seharian dengan biaya sekitar Rp 300.000,-. Kapasitas perahu bervariasi antara 12 sampai 20 orang.

Teras dan halaman depan Rumah Heritage Ong Boen Tjiet menghadap langsung ke Sungai Musi tanpa terhalangn bangunan apapun.

Dari Dalam Palembang

Jika anda berdomisili di Palembang maka perjalanan menuju ke Rumah Heritage Ong Boen Tjiet bisa dilakukan melalui darat atau campuran antara darat dan air.

Sepenuhnya Darat

Kendaraan roda dua bisa membawa anda sampai langsung ke Rumah Heritage Ong Boen Tjiet dan kendaraan dapat diparkir di halamannya, tetapi kendaraan roda empat terpaksa berhenti di muka Lorong Jayalaksana 3/4 Ulu dan harus mencari lokasi parkir di dekat situ. Dari sana anda harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki memasuki Lorong Jayalaksana sepanjang kurang lebih 200 meter lalu masuk ke Lorong yang lebih kecil sejauh 130 meter.

Sepanjang 130 meter berjalan melalui rumah-rumah penduduk yang ramah, anda akan melihat kerajinan nipah di beberapa rumah penduduk. Mereka membuat nipah menjadi berbagai peralatan mulai dari piring makan, wadah pensil, pot bunga, sampai wadah pakaian kotor. Para perajin nipah ini biasanya menerima pesanan dalam jumlah besar tetapi jika anda berminat mereka bisa menjual secara satuan.

Dua contoh hasil kerajinan nipah yang dibuat oleh warga di sekitar Rumah Heritage Ong Boen Tjiet.

Campuran Darat dan Air

Kombinasi darat dan air ini adalah pilihan yang direkomendasikan. Kendaraan roda empat diparkirkan di lapangan parkir yang ada di sekitar Benteng Kuto Besak dan dari sana perjalanan dilanjutkan dengan menumpang perahu ketek.

Dermaga yang direkomendasikan adalah dermaga yang berada di depan Patung Ikan Belida. Patung ini ada di halaman Benteng Kuto Besak dan menghadap ke Sungai Musi. Silakan pilih perahu yang akan dinaiki. Biaya penyeberangan dari Benteng Kuto Besak ke Rumah Heritage Ong Boen Tjiet sekitar Rp 10.000,- per orang. Jika anggota rombongan cukup banyak, perahu bisa disewa seharian dengan harga sekitar Rp 300.000,-. Kapasitas perahu bermacam-macam antara 12 sampai 20 orang.

Waktu perjalanan air dari Benteng Kuto Besak ke Rumah Heritage Ong Boen Tjiet berkisar antara 7 sampai 10 menit. Selama perjalanan anda bisa berfoto di perahu dengan latar Jembatan Ampera dan melihat perahu-perahu pencari barang bekas di dasar Sungai Musi yang kadang kala menemukan artefak dari masa Kadatuan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang.

Mendekati Rumah Heritage Ong Boen Tjiet anda akan disambut oleh dermaga besi yang cukup besar tepat di halaman rumahnya. Sekarang anda telah tiba, silakan nikmati suasana Palembang yang tenang di teras rumah heritage di tepian Musi.

Demikian panduan menuju ke Rumah Heritage Ong Boen Tjiet ini dibuat dengan harapan agar dapat mempermudah perjalanan anda. Selamat menikmati kekayaan budaya Palembang!.

Kabar Kabur Tentang Sultan Palembang Melarang Cina Tinggal di Darat

Salah satu hal menarik yang paling awal kami ingat dari berbagai cerita tentang Palembang adalah kisah tentang Sultan Palembang yang melarang orang Cina untuk tinggal di darat. Akibatnya, orang Cina terpaksa tinggal di dalam rakit di atas Sungai Musi. Tapi, peta dan gambar lama memberikan pandangan yang berbeda.

Orang Cina bukanlah orang asing bagi Palembang. Kehadiran orang Cina di Palembang bahkan lebih tua dari usia Palembang sendiri.

Palembang dianggap resmi berdiri pada tahun 683 masehi, sedangkan orang Cina sudah ke Palembang pada tahun 671 masehi. Pendeta I-Tsing telah datang ke Palembang 12 tahun sebelum prasasti Kedukan Bukit dibuat oleh Dapunta Hyang Srijayanaga. Bukan sekedar mampir, I-Tsing sempat tinggal beberapa tahun untuk belajar agama Buddha dan menerjemahkan kitab-kitab.

Untuk beribadah, belajar agama, dan menyalin kitab agama Buddha, I-Tsing harus melakukannya di sebuah bangunan keagamaan yang sudah pasti berdiri di atas tanah, bukan air.

Saat Majapahit menyerang Palembang sekitar tahun 1397 mereka melihat sebuah komunitas besar orang Cina telah menetap di Palembang dan pasukan Majapahit memilih untuk tidak mengganggu mereka. Setelah penguasa Palembang jatuh dan Majapahit pulang, masyarakat Cina ini mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Tokoh ini yang nanti akan bertemu dengan Laksamana Cheng Ho dan membantunya melawan perompak di Sungai Musi. Kekaisaran Cina lalu mengangkat pemimpin lokal ini menjadi Pemimpin resmi komunitas Cina di Palembang.

Pada tahun 1659 giliran Belanda yang menyerang Palembang. Pada saat itu keraton Palembang berada tepat di lokasi PT Pusri berdiri saat ini. Belanda membuat lukisan untuk menggambarkan serangan mereka kepada Palembang. Dalam lukisan itu terdapat keterangan mengenai keberadaan sebuah kampung Cina di daratan Palembang tepatnya di seberang keraton Kuto Gawang. Lokasi ini sekarang kira-kira berada di Stadion Patra Jaya, Plaju.

Lukisan Palembang saat diserang oleh Belanda pada tahun 1659. Kampung Cina ditandai dengan huruf ‘I’ dan berada di seberang Kuto Gawang. Lukisan ini bisa dilihat di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Kampung Cina di Daerah Bagus Kuning sekarang.
Legenda pada lukisan yang sama memberi keterangan tentang keberadaan Kampung Cina di Palembang.

Belanda kembali menyerang Palembang pada tahun 1821. Dalam serangan yang terjadi di masa Kesultanan Palembang ini, Belanda membuat peta yang menggambarkan situasi di kota yang mereka serang untuk kelima kalinya ini. Dalam peta tersebut tercantum keterangan mengenai sebuah perkampungan Cina dan sebuah tempat ibadah Cina. Keduanya berada di daratan pada sisi sebelah selatan Sungai Musi, di lokasi yang sekarang kira-kira menjadi 5 ulu, 9 dan 10 Ulu.

Peta Palembang tahun 1821 menunjukkan keberadaan Kampung Cina dan sebuah Kelenteng.

Dari informasi yang dibagikan di atas didapat gambaran bahwa di masa lalu komunitas Cina telah memiliki perkampungan mereka sendiri di Palembang dan perkampungan itu berdiri di darat, bukan di atas air.

Sajian informasi ini berbeda sekali dengan kabar yang luas tersebar yang mengatakan bahwa orang Cina di Palembang hanya boleh tinggal di atas air.

Lalu, darimana kisah tentang larangan bagi warga Cina di Palembang untuk tinggal di darat?

Sependek ingatan kami, sumber paling awal untuk cerita ini datang dari pejabat Belanda Bernama Sevenhoven yang ditugaskan ke Palembang. Sevenhoven menulis sebuah buku yang didalamnya berisi cerita bahwa Sultan Palembang melarang orang Cina tinggal di daratan.

Jika benar adanya kisah itu berasal dari orang Belanda, maka terbuka kemungkinan bahwa cerita itu dibuat-buat dengan tujuan untuk menjelek-jelekkan Sultan Palembang.

Sebagai bangsa yang baru saja menang perang atas tokoh yang luas pengaruhnya di bagian selatan sumatera. Belanda memiliki kebutuhan untuk melegitimasi kemenangannya itu di mata masyarakat Palembang. Belanda hendak mencitrakan diri mereka sebagai pembebas rakyat Palembang dari cengkeraman pemimpin jahat yang bernama Sultan Palembang. Karena itu mereka membuat kisah-kisah buruk tentang Sultan dengan harapan warga Palembang akan bersimpati kepada Belanda, walaupun kisah itu bertentangan dengan informasi yang mereka berikan sendiri.

Semoga kampanye jahat yang dilakukan oleh orang Belanda atas Kesultanan Palembang bisa perlahan-lahan dihapuskan. Masyarakat Palembang di masa modern pun tidak perlu melestarikan rencana jahat yang telah berusia 200 tahun ini. Mengadu domba adalah kerja penjajah dan kita tidak perlu terus menerus menjadi domba.

Kisah Mini Pulau Maspari

Ketika mengamati peta lama, ada beberapa nama yang menarik mata, salah satunya adalah tempat bernama ‘Lucapara’.

‘Lucapara’ adalah nama yang diberikan oleh pembuat peta dari eropa untuk sebuah pulau kecil yang berada di ujung selatan Selat Bangka. Pulau ini hampir separuh jalan antara daratan Sumatera dengan daratan Bangka. Setelah dibandingkan dengan peta modern, maka kita mendapati bahwa pulau ‘Lucapara’ dalam peta lama adalah pulau yang saat ini dikenal sebagai Pulau Maspari.

Pulau Lucapara hanyalah pulau kecil, tidak menghasilkan rempah-rempah, juga tidak memiliki tambang, tidak ada pula perkebunan yang penting bagi perdagangan, lalu mengapa pulau kecil bisa masuk ke dalam peta?

Nama ‘Lucapara’ tercantum dalam peta keluaran Eropa pada tahun 1654, 1662, 1680-an, dan 1700. Sebagai pembanding, dalam peta yang sama, nama-nama daerah penting dan luas di daerah pedalaman seperti Rejang, Pasemah, dan Kerinci tidak tercantum. Jadi, apa yang membuat Lucapara alias Maspari bisa masuk peta?

Pulau Maspari dalam peta keluaran sekitar tahun 1680.

Hal yang perlu diingat adalah bahwa orang-orang Eropa pertama yang datang ke Asia Tenggara adalah para Pedagang. Dalam perjalanan dagang antar benua ini, mereka diantar oleh para Pelaut yang menjadi Nahkoda kapal dagang. Karena itu, peta yang dibuat di masa itu harus memenuhi informasi yang dibutuhkan oleh para Pedagang dan Pelaut.

Berbagai nama lokasi Pelabuhan dagang dan wilayah penghasil komoditas dagang seperti rempah-rempah sudah pasti tercantum di dalam peta. Hal itu dilengkapi dengan informasi mengenai tempat-tempat untuk mengambil air tawar, memperbaiki kapal, dan penanda navigasi. Mungkin dalam kategori terakhir inilah mengapa nama pulau super kecil seperti ‘Lucapara’ bisa masuk ke dalam peta-peta klasik.

Jauh sebelum itu, lokasi lain di ujung utara Selat Bangka juga menyediakan fungsi yang sama, menjadi penanda arah bagi para pelaut kuno. Bagi para pelaut yang datang dari Selat Melaka dan laut Natuna Utara menuju ke selatan, Gunung Menumbing di ujung barat laut Pulau Bangka adalah penanda bahwa mereka telah hampir tiba di Palembang, ibukota Kadatuan Sriwijaya.

Ketika telah melihat Menumbing, maka mereka hanya perlu berbelok ke arah barat dan masuk ke Sungai Musi dan lalu menghulu sekitar 100 km untuk sampai ke kota kuno tersebut.

Peran sebagai penanda arah yang disediakan oleh Gunung Menumbing juga disediakan oleh Pulau Lucapara.

Jika menilik posisinya di mulut sebelah selatan Selat Bangka, maka Lucapara sepertinya menjadi penanda bagi kapal-kapal yang baru keluar dari Selat Bangka untuk segera memutuskan arah pelayaran mereka, apakah terus lurus ke selatan atau berbelok ke timur.

Jika memutuskan untuk tetap lurus, maka kapal tersebut akan terus menyusuri pesisir timur Pulau Sumatera bagian selatan dan pada akhirnya masuk ke Selat Sunda, dari sana mereka berbelok ke timur dan berlabuh ke Banten atau berbelok ke barat dan masuk ke Samudra Hindia. Jika memutuskan untuk berbelok ke timur, maka mereka bisa menuju ke berbagai Pelabuhan yang berada di pesisir utara Pulau Jawa dan di pesisir selatan Pulau Kalimantan.

Dari Maspari, seorang Pelaut bisa terus berlayar ke selatan sampai Selat Sunda dan pelabuhan-pelabuhan di Banten atau berbelok ke timur menuju berbagai pelabuhan di Jawa dan Kalimantan.

Sebaliknya, kapal-kapal yang datang dari arah Jawa dan Kalimantan dan hendak menuju Palembang bisa menjadikan Pulau Lucapara sebagai penanda bahwa mereka telah berlayar ke arah yang benar. Ketika melihat pulau tersebut, mereka tinggal berbelok ke arah utara dan memasuki Selat Bangka.

Jika hendak dicarikan pembandingnya, maka peran Pulau Lucapara pada transportasi laut kurang lebih setara dengan peran Bundaran Air Mancur Palembang pada transportasi darat.

Cerita lain menyebutkan bahwa di Pulau Lucapara ini terdapat sebuah sumber mata air tawar. Jika cerita ini benar maka peran Pulau Lucapara menjadi semakin penting. Bukan hanya sebagai penanda arah, kapal-kapal pun bisa berhenti sebentar untuk mengambil air tawar. Air tawar ini akan menjadi bekal yang sangat berharga bagi para pelaut yang akan berlayar selama berhari-hari menuju Jawa dan Kalimantan.

Demikianlah uraian seadanya tentang Pulau Lucapara. Mengenai perubahan bunyi dari ‘Lucapara’ menjadi ‘Maspari’ biarlah menjadi tugas para Ahli Bahasa alias Linguist untuk menjelaskannya. Kami yang masih awam ini hanya mampu menulis seperti ini saja. Semoga bermanfaat.

Perihal Asal Muasal 6 Nisan di Masjid Lama

Perihal nisan-nisan Masjid Lama, apakah nisan-nisan ini berasal dari pemakaman umum atau dari pemakaman keluarga? Atau adakah kemungkinan lain?

Belum lama ini Palembang mendapatkan kembali beberapa keping masa lalu mereka yang sempat hilang dilindas pembangunan. Kepingan masa lalu itu ditemukan di daerah yang sekarang dikenal sebagai Jalan Mesjid Lama, sekitar 100 meter ke arah timur Bundaran Air Mancur.

Kamis malam 14 Januari 2022 lalu enam buah nisan ditemukan di dalam galian yang dikerjakan oleh sebuah BUMN. Sebagian nisan itu sempat dikubur kembali oleh yang menemukan dan sisanya ‘tidak sengaja’ dibuang ke daerah Tanjung Barangan. Untungnya penemuan itu sempat viral dan akhirnya diketahui masyarakat luas dan pada akhirnya keenam nisan itu bisa digali kembali dan dikumpulkan.

Tiga dari 6 nisan yang ditemukan dalam galian Proyek IPAl di kawasan Masjid Lama. (Kantor Arkeologi Sumsel)

Masalah nisan dari pusat kota Palembang yang ‘terbuang’ ke Tanjung Barangan ini mengingatkan kami pada prasasti masa Sriwijaya yang ditemukan kembali di daerah Talang Tuwo. Apakah prasasti buatan tahun 684 masehi itu benar-benar didirikan di sana atau didirkan di tempat lain lalu ‘terbuang’ ke Talang Tuwo, daerah yang sekarang masuk ke kawasan Tanjung Barangan. Kedua-duanya adalah sama-sama batu bertulis, apakah nasibnya juga sama? Wallahualam, sekarang kita kembali ke masalah nisan.

Setelah berhasil dikumpulkan oleh Kantor Arkeologi Sumatera Selatan, keenam nisan itu memberikan informasi kepada kita melalui teks yang tertera padanya.

Berikut ini informasi yang tertera pada masing-masing nisan.

Nisan pertama berbunyi ‘Maka telah berpulang ke rahmatullah dengan baik Niaji (Nadibah) anak perempuan Abdul Aziz dari Palembang.’

Nisan kedua berbunyi ‘Maka telah berpulang ke rahmatullah raja yang baik Almarhum Haji Abdurrahman Raja Ismail.’

Nisan ketiga berbunyi ‘Maka telah berpulang ke rahmatullah dengan baik Niaji Rosyidah anak perempuan Haji Abdurrahman Raja Ismail dari Palembang.’

Nisan keempat berbunyi ‘Dan adapun wafatnya pada hari Senin, 8 Robiul Akhir Tahun 1322 H.’

Nisan kelima berbunyi ‘Telah berpulang ke rahmatullah perempuan bernama Nur’aini anak Perempuan Haji Abdurrahman pada Tanggal 2 Bulan Robi’ul Awal.’

Nisan keenam berbunyi ‘Dan adapun wafatnya pada 25 Dzulkaidah Tahun 1310 Hijriah..’

Pada keenam nisan tersebut terdapat dua nisan yang memberikan angka tahun yakni nisan keempat dengan angka tahun masehi di 21 Juni 1904 dan nisan keenam dengan angka tahun masehi di 9 Juni 1893. Dengan demikian kita akan membatasi pembicaraan tentang nisan ini pada era waktu 1890-an sampai masa kemerdekaan. Masa kemerdekaan dipilih sebagai batas waktu karena setelah itu pembangunan terjadi tidak terkendali di Palembang.

Menurut dugaan para peneliti, keenam nisan ini berasal dari satu keluarga yang sama.

Pada sekitar tahun 1821, tahun dimana Belanda menduduki Palembang, lokasi penemuan enam nisan itu adalah lahan kosong. Namun pada masa yang lebih awal, mungkin 100 tahun sebelumnya, di daerah itu pernah berdiri keraton yang Bernama Kuto Beringin Janggut.

Peta yang menggambarkan situasi Palembang di tahun 1821 saat Belanda menyerang Palembang. Titik hijau adalah lokasi penemuan 6 nisan. (KITLV)

Mungkin terdapat cukup banyak bangunan di dalam kuto itu dan mungkin pula terdapat makam yang disediakan khusus bagi keluarga Kesultanan. Tetapi ketika Kuto Kecik dibangun sepertinya Kuto Beringin Janggut ditinggalkan. Puncaknya pada saat Kuto Besak selesai, pemukiman keluarga kesultanan sepertinya bergeser ke arah barat Sungai Tengkuruk. Sehingga ketika Belanda menduduki Palembang, mereka tidak melihat adanya perkampungan besar di sisi timur Sungai Tengkuruk. Hanya terdapat sebuah pasar yang berada di tepi muara Sungai Tengkuruk. Pasar ini oleh Belanda dikembangkan menjadi pasar utama di Palembang, yang sekarang kita kenal sebagai Pasar 16 Ilir.

Peta Palembang pada tahun 1877 memberi informasi bahwa daerah Masjid Lama mulai dihuni. Sejumlah bangunan telah berdiri dan diberi tanda sebagai kantor dan rumah tinggal. Sayangnya penulis tidak memiliki peta atau foto dari masa yang mendekati tahun 1893 dan 1904. Informasi selanjutnya yang paling dekat datang dari foto udara Palembang yang diambil sekitar tahun 1920-an.

Foto udara Palembang sekitar tahun 1920-an. Tampak persimpangan yang akan menjadi Bundaran AIr Mancur dan Jalan Masjid Lama. (KITLV)

Ketika pasar dibangun, wilayah 16 ilir dan sekitarnya semakin ramai, toko-toko dan rumah-rumah dibangun di dekat pasar. Dalam sebuah foto yang diambil sekitar tahun 1920-an ini, daerah Masjid Lama telah dipenuhi oleh perumahan yang rapat. Hanya terdapat sedikit jeda berupa pepohonan antara atap-atap rumah.

Foto daerah Masjid Lama selanjutnya dari era 1940-an yang memberikan gambaran yang tidak terlalu jauh berbeda, susunan rumahnya masjid dapat dikenali sama dengan suasana pada tahun 1920-an.

Foto udara Palembang sekitar tahun 1940-an. Tampak tidak banyak perubahan yang terjadi di jalan Masjid Lama. (KITLV)

Pada kedua foto itu terdapat pola yang dapat dikenali. Terdapat sebaris bangunan batu dari pangkal Masjid Lama, lalu ada pepohonan, diikuti oleh dua rumah kayu, lalu ada pepohanan lagi, kembali diikuti oleh tiga atau empat rumah kayu, lalu bertemu kerimbunan pohon lainnya. Pada yang ketiga ini, kerimbunannya lebih banyak sehingga memberi indikasi bahwa terdapat lebih banyak pohon daripada dua kerimbunan sebelumnya. Dan karena terdapat lebih banyak pohon maka tanah yang ada di bawahnya juga pasti lebih luas, agar cukup memuat pohon yang lebih banyak.

Warna biru menunjukkan pertokoan yang akan dirubuhkan untuk membangun tapak Jembatan AMpera. Warna hijau menunjukkan tiga kelompok pepohonan di sepanjang jalan Masjid lama. Foto Palembang tahun 1920-an. (KITLV)

Menurut dugaan kami, pada kerimbunan pohon yang ketiga inilah terdapat peluang untuk adanya sebuah pemakaman. Dan jika benar terdapat sebuah makam disitu, kemungkinan itu adalah makam keluarga, menilik kepada ukurannya yang cukup lega untuk meletakkan beberapa makam tetapi terlalu kecil untuk menjadi sebuah pemakaman umum. Demikian pula pada peta tahun 1917 tidak ada tanda pemakaman yang diletakkan oleh pembuat peta  di daerah Masjid Lama.

Dalam masa selanjutnya, satu garis pertokoaan yang berada tepat di tepi Jalan Tengkuruk akan dirubuhkan untuk membangun tapak bagi kaki sebelah Ilir Jembatan Ampera. Lalu rumah-rumah di sepanjang Jalan Masjid Lama berubah menjadi pertokoan. Kemungkinan tepat di kerimbunan ketiga yang terdapat pemakaman keluarga inilah dibangun jalan yang menghubungkan Jalan Masjid Lama dengan Jalan Pasar Baru. Pada jalan inilah nisan-nisan ditemukan Kamis 10 hari yang lalu.

Selain sebuah pemakaman keluarga, terdapat pula kemungkinan lain, yang akan dijabarkan pada paragraf berikut.

Kawasan sekitar Masjid Agung dikenal sebagai kawasan yang kental atmosfer keilmuannya. Sejak dahulu para guru agama tinggal di sekitar Masjid Agung Palembang, karena itu dikenal adanya sebuah daerah Bernama ‘guru-guru’ di dekat Masjid Agung, diduga itu adalah lokasi bermukimnya para guru agama di Palembang. Guru-guru ini tentu saja menyimpan banyak buku dan mungkin pula menulis buku, maka tidak heran sampai hari ini di sekitar Masjid Agung Palembang terdapat sejumlah perpustakaan, banyak toko buku baru dan bekas, dan banyak sekali usaha percetakan.

Tradisi tulis menulis yang kental di sekitar Masjid Agung Palembang mungkin pula melahirkan jenis usaha baru, yakni Penulis batu nisan. Batu nisannya mungkin didatangkan dari luar Palembang tetapi penulisan yang diterakan diatasnya dilakukan oleh seorang juru tulis yang bermukim di sekitar Masjid Agung.

Jika hal ini bisa diterima, maka kemungkinan keenam nisan itu berasal dari sebuah usaha pembuatan batu nisan yang berada Jalan Masjid Lama, di seberang Masjid Agung. pada kerimbunan ketiga di Jalan Masjid Lama terdapat lahan yang cukup luas dan teduh untuk seorang juru tulis melakukan pekerjaannya menerakan aksara-aksara ke atas batu nisan yang dipesan pelanggannya. Nisan-nisan itu mungkin ditinggalkan saat pemilik usaha pindah atau menutup usahanya.

Tulisan ini dibuat semata-mata di atas kesukaan penulis atas peta dan foto lama, sehingga terbuka kemungkinan untuk terjadi kekeliruan. Semoga tulisan ini dapat memperkaya narasi atas kejadian penemuan nisan-nisa kuno yang baru ditemukan ini.

Pada saat tulisan ini dibuat, Tim dari Kantor Arkeologi Sumatera Selatan baru saja meneliti lokasi pembuangan bahan galian dari pekerjaan proyek BUMN di Pasar 16 Ilir. Penelitian ini menemukan beberapa pecahan keramik, pecahan porselen, pecahan bata, dan sebuah botol tua.

Kapan Gedung Eks Museum Tekstil Dibangun?

Gedung eks Museum Tekstil adalah salah satu bangunan tua yang sedang mendapat banyak perhatian akhir-akhir ini di Kota Palembang. Gedung ini terletak di sebuah simpang lima yang ramai di pusat kota, dalam sebuah lingkungan yang asri 1,4 km di sebelah barat Jembatan Ampera.

Pertanyaan menarik yang sering terlontar mengenai Gedung ini adalah mengenai kapan tepatnya bangunan putih yang anggun ini dibangun. Dalam tulisan pendek ini kami akan mencoba menjawabnya.

Sesungguhnya, kami belum punya angka tahun pasti mengenai kapan Gedung eks Museum Tekstil dibangun. Informasi pasti mengenai itu mungkin bisa dicari di tumpukan arsip yang ada dalam koleksi dinas Arsip Nasional RI atau bahkan di museum-museum di Belanda. Namun kita bisa menelusuri waktu keberadaan bangunan ini melalui sumber tidak langsung, seperti peta dan foto lama dari era pendudukan Belanda.

Bangunan eks Museum Tekstil berada di ujung barat Jalan Merdeka dan masuk ke dalam kawasan yang dahulu dikenal sebagai ‘Talang Semut’. Tetapi kini kawasan itu lebih dikenal sebagai ‘Kambang Iwak’. Bangunan ini menghadap ke arah selatan dan diapit oleh dua buah jalan, yakni Jalan Dokter Wahidin dan Jalan Diponegoro.

Pada tahun 1922, semua jalan yang disebut di atas belum ada, begitu pula dengan bangunan yang sedang kita selidiki ini. Pada potongan peta lama dari tahun itu, pembangunan di Palembang masih dipusatkan di sekitar Kuto Besak, terutama di sisi sebelah timurnya. Pada sebelah timur ini terdapat sebuah pasar yang ramai dan menjadi jantung perekonomian Palembang, yaitu pasar 16. Kawasan yang sekarang menjadi Kambang Iwak belum mewujud dan masih berupa rawa-rawa yang menjadi hulu dari Sungai Soak Bato. Antara kawasan ini dengan Talang Semut yang ada di selatannya terdapat segaris jalan yang sekarang kita kenal sebagai Jalan Ario Kesumo Abdurrochim dan Jalan Kartini.

Dengan situasi seperti itu, sudah jelas bahwa Gedung eks Museum Tekstil belum dibangun pada tahun 1922. Karena lokasinya berdiri saat itu masih berupa rawa-rawa.

Peta Kota Palembang pada tahun 1922, tampak kawasan Talang Semut dan perkiraan lokasi Gedung eks Museum Tekstil. (KITLV)

Palembang sendiri baru diakui menjadi sebagai sebuah kota oleh pemerintah Belanda pada tahun 1906 yang seharusnya dipimpin oleh seorang Walikota. Uniknya, Palembang tidak memiliki walikota sampai tahun 1919, ketika Walikota pertama Palembang dilantik, yakni orang Belanda yang Bernama L.G Larive.

Setelah memiliki Walikota, pembangunan Palembang mulai gencar dilakukan, salah satunya dengan mengembangkan kawasan Talang Semut.

Talang Semut dikembangkan sebagai permukiman bagi warga Eropa yang bertugas atau menetap di Palembang. Seorang Insinyur Belanda dijadikan penasehat Pemerintah Kota Palembang dalam urusan pembangunan ini, dia adalah Thomas Karsten. Karsten merancang Talang Semut menjadi semacam kota taman yang nyaman bagi penghuninya.

Beberapa jalan baru dibangun dan rumah-rumah batu bewarna putih bermunculan. Kolam dan taman menjadi fasilitas umum yang disediakan di Talang Semut. Perkembangan yang masif ini tampak pada peta Palembang tahun 1930. Salah satu bangunan yang muncul adalah rumah dinas Walikota Palembang. Rumah dinas walikota Palembang didirikan tepat di titik pertemuan antara dua jalan baru, yakni jalan Willems dan Jalan Wilhelmina. Kedua jalan itu sekarang Bernama Jalan Supeno dan Jalan Diponegoro.

Rumah dinas Walikota Palembang inilah yang sekarang kita kenal dengan nama Gedung eks Museum Tekstil.

Gedung eks Museum Tekstil pertama kali muncul dalam peta Kota Palembang tahun 1930. Ditandai dengan nomor 64 yang diterangkan sebagai Rumah Dinas Walikota Palembang. (KITLV)

Dengan demikian, Gedung eks Museum Tekstil dibangun antara tahun 1922 sampai 1930, yaitu dari peta Kota Palembang tahun 1922 terbit sampai peta Kota Palembang tahun 1930 terbit.

Jika dugaan di atas benar adanya maka Gedung eks Museum Tekstil usianya sekarang telah mendekati 100 tahun, usia yang termasuk tua. Semoga bangunan ini dapat dilestarikan sesuai kaidah warisan budaya yang berlaku dan bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat Palembang.

Tentu saja data yang lebih akurat harus dicari di dalam arsip-arsip Belanda. Tulisan ini hanya sekedar usaha kecil untuk mengisi kekosongan narasi atas gedung eks Museum Tekstil. Semoga tulisan pendek ini dapat membantu memperkaya narasi terkait Gedung eks Museum Tekstil dan juga narasi kesejarahan Palembang secara kesuluruhan.

Lokasi Foto Ini Bukan di Perempatan Rumah Susun Palembang

Beredar di media sosial foto hitam putih yang telah diwarnai dengan keterangan bahwa foto itu adalah foto lama perempatan Jalan SW Subekti dan Jalan Radial. Sayangnya keterangan itu keliru.

Foto yang dimaksud adalah foto dari koleksi KITLV yang diberi keterangan sebagai ‘Sudut Jalan Bukit Kecil dengan Jalan Wilhelmina’ dengan angka tahun 1935. Foto era pendudukan Belanda ini lalu disandingkan dengan foto perempatan Jalan Radial dengan Jalan Pangeran SW Subekti dan Jalan Letkol Iskandar. Dua foto yang disandingkan ini lalu diberi keterangan sebagai dua foto dari satu tempat yang sama, satu di masa lalu dan satu lagi dari masa sekarang.

Sayangnya dua foto itu berasal dari dua tempat yang berbeda.

Foto kedua yang menunjukkan perempatan Jalan Radial dengan Jalan Pangeran SW Subekti dan Jalan Letkol Iskandar berada di lokasi yang berbeda dengan pertigaan Jalan Bukit Kecil dan Jalan Wilhelmina pada foto pertama.

Jalan Radial, Jalan Pangeran SW Subekti dan Jalan Letkol Iskandar belum ada pada tahun 1935 sehingga tidak mungkin diambil gambarnya pada tahun itu.

Jalan Wilhelmina sekarang dikenal sebagai Jalan Diponegoro sedangkan Jalan Bukit Kecil masih cukup populer meski sekarang telah berganti nama menjadi Jalan KH Ahmad Dahlan. (KITLV)

Sedangkan Jalan Wilhelmina yang dimaksud dalam foto tahun 1935 itu adalah jalan yang sekarang dikenal sebagai Jalan Diponegoro dan Jalan Bukit Kecil yang bersimpangan dengannya adalah Jalan KH Ahmad Dahlan sekarang.

Dengan begitu, sudut jalan antara Jalan Wilhelmina dan Jalan Bukit Kecil dalam foto tahun 1935 adalah perempatan Jalan Diponegoro dengan Jalan KH Ahmad Dahlan di masa sekarang. Hanya saja rumah yang ada di sudut jalan tahun 1935 itu kini telah tidak ada, berganti dengan sebuah toko alat rumah tangga pecah belah.

Semoga tulisan pendek ini dapat membantu memperkaya narasi terkait masa lalu Palembang dan tahap-tahap perkembangannya.

Kubu Pertahanan Jepang di Pulau Kembaro

Bulan Maret 2021 lalu tim kecil yang menjelajahi Pulau Kembaro mendapati sebuah struktur beton di bagian pesisir utara ujung timur pulau tersebut. Struktur ini oleh warga setempat disebut dengan nama ‘dapur’. Alasannya karena berdasarkan cerita yang diterima dari para orang terdahulu struktur itu adalah sisa sebuah dapur dari bangunan atau kompleks bangunan yang dipergunakan untuk menyekap tahanan terkait peristiwa G30S/PKI.

Tim kecil yang terdiri dari Arkeolog dan Anthropolog dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan dan Koordinator komunitas edukasi sejarah Sahabat Cagar Budaya mencoba mengumpulkan data dan foto struktur tersebut. Struktur beton berlumut yang dikelilingi oleh pepohonan dewasa dan tanaman merambat ini terdiri dari beberapa bilah beton yang ditegakkan di atas tanah dengan bilah lain ditumpukkan di atasnya menjadi semacam atap. Beberapa bilah beton lain tampak tergeletak di atas tanah di pinggir sungai, dengan sebagian badannya terendam air.

Tim Balai Arkeologi Sumatera Selatan sedang mengumpulkan data struktur beton yang disebut ‘dapur’ oleh warga setempat. (foto dokumentasi pribadi)

Dugaan awal dilontarkan bahwa struktur beton itu adalah sisa dari kubu pertahanan Jepang di Palembang.

Satu bulan kemudian kelompok yang lebih besar datang kembali ke lokasi yang sama. Saat ini dugaan kedua muncul dari anggota kelompok lainnya bahwa struktur beton itu mungkin adalah sisa dari apa yang direncanakan sebagai tiang tapak jembatan Ampera.

Setelah beberapa bulan tanpa perkembangan baru, pada akhir tahun 2021 ini kami mendapatkan informasi tentang Pulau Kembaro di masa Perang Dunia Kedua. Informasi ini akan mendukung dugaan pertama bahwa struktur beton yang disebut ‘dapur’ oleh warga setempat sebenarnya adalah sisa kubu pertahanan Jepang.

Palembang adalah kota tertua di Indonesia yang terus menerus dihuni sejak awal berdiri sampai saat ini. Selama 1300 tahun lebih Palembang selalu menjadi kota penting yang diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan besar di kawasan maupun di dunia.

Pada tahun 1940-an, Palembang adalah kota yang sangat penting karena di dekatnya berdiri dua buah kompleks pengolahan minyak yang terbesar di kawasan Asia Tenggara, yakni Plaju dan Sungai Gerong. Pada masa itu, 75 persen kebutuhan bahan bakar pesawat terbang di Asia Tenggara dipenuhi oleh dua kilang minyak itu saja. Hal itu membuat Plaju dan Sungai Gerong menjadi rebutan dari dua pihak yang sedang bertikai di Perang Dunia Kedua, Jepang dan Sekutu.

Pada tahun 1942 Jepang berhasil merebut dan menduduki Plaju, Sungai Gerong, dan Palembang. Sejak saat itu mereka memagari ketiga kota itu secara kuat. Jepang menempatkan Angkatan Udara mereka di tiga pangkalan udara di sekitar Palembang untuk menjaga wilayah udara. Sedangkan di darat mereka meletakkan 270 buah kubu persenjataan anti serangan udara di berbagai tempat di dalam Kota Palembang. Jumlah kubu yang Jepang persiapkan di Palembang ini jauh lebih banyak daripada jumlah kubu pertahanan yang mereka siapkan untuk melindungi Singapura. Itu bukti yang cukup untuk menunjukkan betapa pentingnya Plaju dan Sungai Gerong bagi pasukan Jepang.

Dalam usaha merebut kembali Palembang dan dua kilang minyak di dekatnya, pasukan sekutu menjalankan beberapa operasi pengeboman, terutama ke Plaju dan Sungai Gerong dengan tujuan untuk melemahkan kekuatan Jepang di Asia Tenggara. Laporan atas pengeboman itulah yang menyediakan bukti yang dibutuhkan mengenai adanya kubu pertahanan Jepang di Pulau Kembaro.

Dalam salah satu foto laporan setelah serangan dilakukan, tampak sebuah rupa bumi yang familiar bagi kami karena menunjukkan pesisir utara ujung timur Pulau Kembaro.

Foto dari pihak sekutu yang menunjukkan ujung timur Pulau Kembaro di tahun 1945. (foto via Armoured Carriers)

Foto ini menunjukkan wilayah tersebut dalam keadaan terbuka dan hutan lebat hanya tersisa di separuh sebelah selatan ujung timur Kembaro. Daerah yang terbuka itu menunjukkan sesuatu yang tampak seperti sebuah jaringan jalan yang menghubungkan beberapa bangunan atau struktur dalam kawasan tersebut. Kawasan terbuka ini oleh pihak sekutu ditandai sebagai lokasi pertahanan pasukan Jepang. Tulisan ‘Jap Fighter’ tertera pada foto dengan sebuah garis yang mengarah ke kawasan berwarna terang dalam foto hitam-putih tersebut.

Lokasi pertahanan Jepang dalam foto tersebut persis berada di lokasi dimana struktur beton yang disebut ‘dapur’ berada dan dua kali dikunjungi oleh teman-teman dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan dan Komunitas Sahabat Cagar Budaya.

Perkiraan lokasi kawasan pertahanan Jepang di ujung timur Pulau Kembaro berdasarkan foto tahun 1945. (foto via Google Earth)

Dari foto tersebut kita bisa membayangkan situasi di Pulau Kembaro pada tahun 1945, tahun dimana foto tersebut diambil.

Sebagian besar pulau kemungkinan kosong dengan bentang rupa bumi berupa sawah lebak dan hutan dataran rendah. Hutan ini hanya berada di ujung sebelah barat dan ujung sebelah timur pulau. Pada bagian timur ini, di sisi sebelah utaranya yang berhadapan dengan daratan Palembang, tampak hutan telah dibuka untuk mendirikan beberapa bangunan yang terkait dengan pertahanan Jepang. Lahan terbuka ini memiliki ukuran kurang lebih 400 meter kali 110 meter. Dengan ukuran seperti itu kita dapat membayang kemungkinan adanya beberapa bangunan dan sejumlah kubu persenjataan anti pesawat udara.

Titik putih menunjukkan lokasi kubu pertahahan Jepang yang tersisa di Pulau Kembaro. (foto via Google Earth)

Satu struktur beton kecil yang tersisa dan ditemukan itu ternyata hanyalah satu bagian kecil dari sebuah kawasan pertahanan yang jauh lebih besar. Pertahanan ini diperlukan untuk menjaga dua kilang minyak terbesar di Asia Tenggara yang berada di sebelah selatan pulau di Sungai Musi tersebut.

Penjagaan yang sangat ketat itu cukup berhasil. Walau beberapa kali dijatuhi bom oleh sekutu, Jepang tetap mampu mempertahankan Plaju dan Sungai Gerong. Kedua kilang terbesar di Asia Tenggara itu baru bisa diambil alih oleh Sekutu setelah Jepang dijatuhi bom atom dan akhirnya menyerah kalah dalam Perang Dunia kedua.

Semoga ujung timur Pulau Kembaro dapat ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya karena daerah tersebut memiliki sejarah panjang sebagai kubu pertahanan, bukan hanya di masa Jepang tetapi sejak masa Kerajaan Palembang. Saat ini ujung timur Pulau Kembaro belum tersentuh pembangunan sehingga masih dapat dirancang sebagai kawasan cagar budaya dengan misi edukasi dan wisata yang berwawasan warisan budaya.